Home Artikel Opini: Paradoks Nasionalisme oleh Exen Jontona

Opini: Paradoks Nasionalisme oleh Exen Jontona

Paradoks nasionalisme Indonesia adalah fenomena yang kompleks dan menarik untuk dianalisis, terutama dalam konteks sejarah pembentukan bangsa yang unik dan tantangan kontemporer yang dihadapi negara ini.

Paradoks Fundamental: Unity in Diversity. 

Indonesia menghadapi paradoks mendasar antara semangat "Bhinneka Tunggal Ika" dengan realitas keberagaman yang luar biasa. Di satu sisi, nasionalisme Indonesia dibangun atas fondasi persatuan dalam keberagaman - lebih dari 17.000 pulau, 300 kelompok etnis, 700 bahasa daerah, dan berbagai agama. Di sisi lain, upaya menciptakan identitas nasional yang kohesif sering kali berbenturan dengan kekuatan sentrifugal dari identitas lokal, etnis, dan agama yang mengakar kuat.

Paradoks Historis: Kolonialisme sebagai Pemersatu. 

Ironi terbesar nasionalisme Indonesia adalah bahwa penjajahan Belanda justru menjadi faktor utama yang menyatukan wilayah-wilayah Nusantara yang sebelumnya terpisah dalam berbagai kerajaan. Nasionalisme Indonesia lahir sebagai respons terhadap kolonialisme, namun sekaligus mewarisi struktur administratif dan konsep negara-bangsa modern dari sang penjajah. Hal ini menciptakan ketegangan antara nilai-nilai tradisional lokal dengan modernitas yang diimpor.

Paradoks Pancasila: Sekularisme dalam Masyarakat Religius. 

Pancasila sebagai ideologi nasional mencerminkan paradoks yang menarik. Meskipun Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, founding fathers memilih untuk tidak menjadikannya negara Islam. Sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa" mengakui peran agama namun dalam kerangka pluralisme. Paradoksnya, dalam praktik politik kontemporer, isu agama justru sering menjadi alat mobilisasi politik yang dapat mengancam toleransi dan persatuan.

Paradoks Bahasa: Artifisialitas Bahasa Persatuan. 

Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan adalah contoh lain dari paradoks nasionalisme Indonesia. Meskipun diadopsi dari bahasa Melayu yang relatif sederhana dan mudah dipelajari, pada kenyataannya bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu mayoritas penduduk Indonesia. Paradoksnya, keberhasilan bahasa Indonesia sebagai lingua franca justru menunjukkan kekuatan nasionalisme artifisial yang berhasil menciptakan realitas sosial baru.

Paradoks Otonomi Daerah: Desentralisasi vs Persatuan. 

Reformasi 1998 membawa paradoks baru dalam bentuk otonomi daerah. Di satu sisi, desentralisasi diperlukan untuk mengakomodasi keberagaman dan mengurangi ketimpangan pembangunan. Di sisi lain, otonomi daerah telah memunculkan "feodalisasi baru" dengan munculnya raja-raja kecil di daerah dan potensi disintegrasi. Paradoksnya, upaya memperkuat persatuan melalui otonomi daerah justru dapat memperlemah kohesi nasional.

Paradoks Identitas Islam dan Nasionalisme. 

Indonesia menghadapi paradoks dalam mengelola hubungan antara identitas keislaman dan nasionalisme. Meskipun mayoritas Muslim, Indonesia bukanlah negara Islam, namun Islam tidak dapat diabaikan dalam diskursus nasionalisme. Munculnya politik identitas dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bagaimana agama dapat menjadi sumber kekuatan sekaligus perpecahan bagi nasionalisme Indonesia.

Paradoks Globalisasi: Nasionalisme dalam Era Borderless. 

Di era globalisasi, nasionalisme Indonesia menghadapi paradoks baru. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk mempertahankan identitas nasional di tengah homogenisasi global. Di sisi lain, Indonesia harus terbuka terhadap dunia untuk mencapai kemajuan ekonomi dan teknologi. Paradoksnya, globalisasi justru sering memicu reaktivitas nasionalistik yang berlebihan.

Paradoks Generasi: Digital Natives dan Warisan Sejarah. 

Generasi muda Indonesia yang tumbuh di era digital menghadapi paradoks dalam memahami nasionalisme. Mereka memiliki akses informasi yang luas namun sekaligus rentan terhadap hoaks dan radikalisme online. Paradoksnya, teknologi yang seharusnya mencerahkan justru dapat digunakan untuk menyebarkan kebencian dan memecah belah persatuan.

Refleksi dan Jalan ke Depan. 

Paradoks-paradoks ini bukanlah kelemahan fundamental, melainkan cerminan dari kompleksitas Indonesia sebagai negara-bangsa modern. Kunci pengelolaan paradoks ini terletak pada kemampuan untuk memelihara keseimbangan dinamis antara persatuan dan keberagaman, antara modernitas dan tradisi, antara keterbukaan global dan identitas lokal.

Nasionalisme Indonesia yang matang harus mampu mengakomodasi paradoks-paradoks ini tanpa terjebak dalam ekstremisme di kedua ujung spektrum. Ini membutuhkan dialog berkelanjutan, pendidikan yang inklusif, dan kepemimpinan yang visioner untuk terus menegosiasikan makna menjadi Indonesia di tengah perubahan zaman yang dinamis.

Paradoks nasionalisme Indonesia, dengan demikian, adalah sebuah proyek berkelanjutan yang membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh elemen bangsa untuk terus mendefinisikan dan meredefinisikan makna persatuan dalam keberagaman.

Penulis adalah Presidium Hubungan Perguruan Tinggi, Pengurus Pusat  PMKRI Periode 2024-2026.