REPLIKNEWS, MAKASSAR - "Tidak ada yang mustahil di dunia ini. Meskipun mungkin anggota tubuh kita disabilitas, tetapi tidak ada hati yang Disabilitas. Jika hati kuat, apapun cita-cita kita pasti tidak sia-sia", begitulah prinsip yang diyakini Risya, penyandang tunanetra yang berhasil meraih gelar magisternya di Universitas Hasanuddin Makassar pada tahun 2022 Silam dengan beasiswa LPDP.
Perjuangannya berliku, kehilangan penglihatan pada usia remaja akibat tumor otak mengharuskannya putar haluan dari pesantren dan melanjutkan pendidikan di salah satu Sekolah Luar Biasa (SLB) di Kota Makassar.
Meski begitu, semangat anak sulung dari tiga bersaudara tersebut tidak pernah padam. Usai menamatkan pendidikan tingkat SMP di SLB, Risya bertekad untuk melanjutkan pendidikan di sekolah umum dekat tempat tinggalnya.
Sayangnya, tidak ada jaminan bahwa lingkungan pendidikan akan jauh dari sikap diskriminatif. Perlakuan tidak adil ditelannya mentah-mentah padahal ia baru saja akan memulai perjuangannya dengan mengikuti ujian masuk pada sekolah tersebut.
"Pada saat mau ujian masuk, dilarangka' masuk dengan teman yang dampingi saya, karna takutnya beng mengganggu. Bayangkanmi itu, dianggap kehadiranku itu mengganggu", cerita Risya dengan dialeg Makassar.
Dianggap akan mengganggu jika mengikuti ujian di ruang yang sama dengan siswa lainnya, Risya pada akhirnya mengikuti ujian di ruang guru. Di ruang tersebut, meski ada beberapa guru yang menyemangati, masih ada saja yang justru melontarkan pernyataan-pernyataan diskriminatif.
"Di ruang guru saya ujian sendiri. Adaji yang semangati, tapi ada tong guru yang harusnya jadi pendidik tapi dia bilang kenapa sekolah di sini?," lanjut Risya dengan kesal.
Konsentrasi Risya lebih banyak terbuang dengan menanggapi pernyataan-pernyataan diskriminatif tersebut. Iya berusaha meyakinkan dengan menjelaskan kemampuannya memanfaatkan alat teknologi berupa komputer. Perkembangan teknologi yang telah menjembatani teman-temannya yang juga mengalami hal yang sama tetapi mampu menyelesaikan pendidikan hingga S3 di Perguruan Tinggi. Hasilnya, Risya dinyatakan tidak lulus ujian masuk Sekolah tersebut.
Tidak menyerah, Risya kembali melanjutkan perjuangannya dengan mencoba mendaftar di sebuah sekolah Madrasah. Lagi-lagi, kehadirannya dianggap salah tempat oleh seorang tenaga pendidik yang tidak lain adalah Kepala Sekolah. Kepada Risya dan ayahnya, Sang Kepala Sekolah berdali mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak membangun SLB lebih banyak lagi.
"Ayahku alasan bilang SLB jauh dari rumah, terus kepala sekolah bilang harusnya itu pemerintah bangun SLB banyak-banyak, biar tidak jauh dari rumah. Artinya dia berpikir bagaimana itu dikotomi-dikotomi atau sekat dia mau kasih tinggi to," urai Risya masih dengan logat Makassar.
Padahal, menurut Risya pembangunan SLB yang lebih banyak bukanlah solusi karena hal tersebut justru membangun dikotomi-dikotomi tertentu dalam masyarakat. Membangun sekolah yang inklusif lebih solutif agar semua bisa beradaptasi.
Meski tidak terang-terangan ditolak, Risya masih terus diragukan dan diperlakukan berbeda melalui uji coba selama tiga bulan.
"Akhirnya diuji coba, dikasih kayak kelinci percobaan. Dikasih waktu selama tiga bulan, kalo mampu menyesuaikan diri bisa lanjut, kalo tidak harus mengundurkan diri", terang Risya.
Kesempatan tersebut tidak disia-siakannya. Risya akhirnya bisa bertahan dan menunjukkan kemampuannya melalui nilai dan prestasi yang ditorehkannya.
Waktu berjalan, tahun 2014 Risya akhirnya melanjutkan pendidikan jenjang S1 pada jurusan sastra Indonesia universitas Hasanuddin Makassar dan berhasil lulus dengan predikat Cumlaude.
Tak menunggu lama, Risya kembali melanjutkan pendidikannya pada jenjang S2 pada tahun 2020 pada jurusan dan universitas yang sama dan berhasil meraih gelar magisternya pada tahun 2022.
Berada pada jenjang perguruan tinggi, Risya masih saja harus tetap menguatkan hatinya dengan berbagai pernyataan-pernyataan diskriminatif, baik dari sesama mahasiswa maupun dosen, seperti harusnya "kau ujian lisan saja atau harusnya kau selesaikan tugas di rumah saja". Pernyataan-pernyataan yang seolah-olah ditujunjukkan untuk memudahkannya, padahal menurutnya hal tersebut karena ia seolah dianggap tidak mampu sama dengan yang lainnya.
Selain menjalankan perannya sebagai istri dan Ibu, wanita tunanetra yang kini telah menjadi pegawai non ASN Pemprov Sulsel tersebut aktif di organisasi Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulsel yang fokus memperjuangkan masalah perempuan dan anak, baik disabilitas maupun yang bukan disabilitas.
Wanita tangguh dengan nama lengkap Risya Risky Nurul Qur'ani, kini kerab diundang untuk menjadi narasumber dalam berbagai diskusi publik di kota Makassar.
Pada 03 Agustus tahun 2023 lalu, Ia bahkan menjadi salah satu narasumber pada diskusi publik penyusunan Draft Strategi Daerah (Strada) Pencegahan Perkawinan Anak di Kota Makassar yang diselenggarakan oleh Bapeda Makassar.
Selang beberapa waktu, Risya juga menjadi narasumber pada Bebinar 'Pedoman Kejaksaan Negeri no. 2 tahun 2023 dan Peningkatan Hak Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan' yang digelar ICJ Makassar pada tanggal 23 Agustus 2023, lalu.
Penulis : Natha
Editor : Redaksi