Repliknews.com, Pangkep - Sebelum melakukan analisis hukum dari kasus meninggalnya bayi dari salah satu pasien persalinan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Batara Siang mari merujuk pada kronologi kejadian sehingga dapat membuat terang duduk perkara yang ada.
Dari data info yang dihimpun pemuda pemerhati hukum kabupaten Pangkep, berikut rentetan kronologisnya :
Pada tanggal 10 Agustus 2021 malam hari, ibu Ny. Supriaty melakukan persalinan di RSUD Batara Siang melalui persalinan normal. Pihak RSUD Batara Siang telah melakukan tindakan medis sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ada.
Pemisahan ibu dan bayi setelah persalinan dilakukan untuk menjaga bayi agar tidak tertular Covid-19 berdasarkan data awal yang menunjukan bahwa pasien Ny. Supriaty terindikasi Covid-19 berdasarkan hasil pemeriksaan rapid tes di RSUD Batara Siang saat pasien datang dan 15 menit setelah rapid tes hasilnya dinyatakan positif.
Setelah dilakukan penanganan awal bayi baru lahir, karena bayi lambat menangis dan berat bayi lahir rendah dengan berat 2100 gram dan badan kebiruan, maka dilakukan perawatan incubator di ruang perawatan bayi dan memberikan bantuan pernafasan.
Setelah tiga hari perawatan di RSUD Batara Siang kondisi bayi dinyatakan sehat oleh dakter anak RSUD Batara Siang. Atas permintaan keluarga yang juga disetujui oleh dokter, maka bayi Ny. Supriaty pulang setelah diberikan edukasi kepada ibu Naela (Tante/Saudara Ny. Supriaty) dan menandatangani surat peryataan dari RSUD Batara Siang bahwa pihak keluarga bertanggung jawab atas bayi yang diminta keluar dari RSUD Batara Siang dan dari surat itu pihak RSUD Batara Siang tidak bertanggung jawab atas keluarnya bayi dari Pasien Ny. Supriaty jika terjadi hal-hal yang tidak dinginkan.
Dua hari setelah keluarnya bayi Ny. Supriaty dari RSUD Batara Siang yang dibawah oleh pihak keluarga bayi tersebut meninggal dunia. Inilah kemudian yang melatar belakangi
kuasa hukum dari pasien menduga adanya kesalahan SOP yang dilakukan oleh pihak RSUD Batara Siang.
Dari kronologi diatas yang diperoleh pemuda pemerhati hukum kabupaten Pangkep mencoba memetakan dasar hukum yang nyangkut tentang kasus ini.
Menurut Pahruddin, S.H, Aliansi Pemerhati Hukum, Dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk melakukan upaya kesehatan.
Merujuk ketentuan Pasal 23 Ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan bahwa Tenaga Kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Dalam ketentuan Pasal 52 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan tersebut dijelaskan bahwa pelayanan kesehatan terdiri atas pelayanan perseorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Adapun yang dimaksud pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit. Bahwa secara kewenangan tenaga kesehatan berwenang dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan terhadap perseorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Dalam melakukan pelayanan kesehatan tenaga kesehatan meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Dalam hal tenaga kesehatan memisahkan bayi dengan ibunya pada kasus tersebut adalah merupakan tindakan preventif yang dilakukan oleh pihak tenaga kesehatan karena dari hasil rapid tes yang dilakukan pihak RSUD Batara Siang dinyatakan positif Covid-19.
Jangan sampai bayi yang dilahirkan tertular Covid-19 dari ibunya sehingga dilakukan tindakan pemisahan oleh tenaga kesehatan (tindakan preventif) di RSUD Batara Siang. Malahan lebih jauh pihak RSUD Batara Siang seharusnya melakukan pemeriksaan terhadap bayi setelah lahir agar dapat diidentifikasi apakah bayi tertular Covid-19 atau tidak. Atau jangan sampai bayi tertular sejak dalam kandungan" Urainya.
Namun, dr. Nina Martini Somad, Sp.OG, Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan, Primaya Hospital berpendapat bahwa “Belum ditemukan bukti bahwa Covid-19 dapat tertular kebayi yang ada dalam kandungan jika sang ibu hamil terpapar Covid-19. Jadi potensi penularan Covid-19 hingga saat ini melalui droplet sang ibu ketika bayi sudah lahir” ujuarnya.
“Pada pasien yang terindikasi Covid-19 proses inisiasi menyusui dini (IMD) sesaat setelah bayi lahir tidak dapat dilakukan untuk menghindari paparan Covid-19 melalui droplet sang ibu kepada bayi yang baru lahir”, lanjutnya.
Dalam website resmi Primaya Hospital dengan judul tulisan “Potensi Bayi Didalam Kandungan Terpapar Covid-19 dan Proses Persalinan Pasien Terindikasi Covid-19” terbit pada tanggal 28 Agustus 2020.
Lebih lanjut Pahruddin, S.H, menjelaskan, adanya tindakan preventif atau pemisahan oleh tenaga kesehaatan pihak keluarga pasien ingin membawa pulang bayi Ny. Supriaty untuk kemudian dirawat di Rumah. Pada kasus tersebut adanya ketidak sesuian informasi dari pihak RSUD Batara Siang dengan pihak pasien dan keluraga pasien.
Bahwa informasi yang terhimpun dari pihak RSUD Batara Siang identitas pasien sesuai dengan kartu identitas yang berdomisili di Pulau Sarappo sedangkan pihak keluarga berdomisilli di Minasatene. Adapun keluhan dari pihak keluarga yang merasa tidak adanya pihak RSUD Batara Siang untuk mengecek kondisi bayi di rumah keluarganya sedangkan dari pihak RSUD Batara Siang yang mereka ketahui yang terhimpun dalam data pasien yang berdomisi di Pulau Sarappo.
Seharusnya pihak keluarga menyampaikan info tempat tinggal keluarga yang merawat bayi pasien Ny. Supriaty dan meminta tindakan pengecekan terhadap bayi selama dirawat di rumah. Namun hal itu tidak dilakukan oleh pihak keluarga sehingga terjadi kesalah pahaman. Adapun jalan lain yang dapat dilakukan oleh pihak keluarga jika ada keluhan pada bayi dapat berkordinasi pada puskesmas setempat yang berada di domisili keluarga atau dapat membawa bayi ke RSUD Batara Siang untuk kemudian diambil tindakan medis.
Adanya surat peryataan tersebut sesuai dengan SOP RSUD Batara Siang dilatar belakangi sebagai tindakan pencegahan masalah hukum jika terjadi hal-hal yang buruk pada bayi maka dimintalah kesediaan pihak keluarga untuk menandatangani surat peryataan tersebut karena bayi tersebut diminta keluar oleh pihak keluarganya. Namun bukan berarti pihak rumah sakit
menolak jika kemudian pasien datang kembali ke Rumah Sakit untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Jika merujuk pada ketentuan yang ada seharusnya pihak keluarga mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi kepada pihak RSUD Batara Siang sehingga tidak terjadi kesalah pahaman sesuai dengan Hak dan kewajiban tenaga kesehatan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan pada Pasal 57 huruf (b) menyebutkan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari penerima pelayanan kesehatan atau keluarganya. Berikutnya merujuk pada Pasal 58 Ayat (1) huruf (b) menyebutkan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik wajib memperoleh persetujuan dari penerima pelayanan kesehatan atau keluarganya atas tindakan yang akan diberikan.
Kuasa hukum Ny. Supriaty juga menngecam pihak RSUD Batara Siang sebab bayi pasien persalinan Ny. Supriaty dipisahkan dengan bayinya yang menganggap adanya dugaan kelalaian dalam SOP RSUD Batara Siang.
Padahal berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pada Bab VII bagian kesatu mengenai kesehatan ibu, bayi dan anak, mengacu pada ketentuan Pasal 128 Ayat (1) setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.
Indikasi medis adalah kondisi yang menyebabkan dilakukannya sebuah terapi, tindakan, atau pemeriksaan penunjang. Perlu kita ketahui pasien Ny. Supriaty terindikasi Covid-19 berdasarkan hasil pemeriksaan rapid tes yang dilakukan oleh pihak RSUD Batara Siang maka sebagai tindakan preventif atau pencegahan pihak tenaga kesehatan melakukan pemisahan bayi dan ibu sesuai ketentuan diatas yang dikecualikan atas indikasi medis.
Merujuk pada Pasal 152 Ayat (2) dan (3) Bab X bagian kesatu mengenai penyakit menular menyebutkan bahwa upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan untuk melindungi masyarakat dari tertularnya penyakit, menurunkan jumlah yang sakit, cacat dan/atau meninggal dunia, serta untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit menular.
Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit menular sebagimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat. Dan pada Pasal 157 Ayat (2) dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit menular, tenaga kesehatan yang berwenang dapat memeriksa tempat-tempat yang dicurigai bekembangnya vektor dan sumber penyakit lain.
Dari tulisan diatas pemuda pemerhati hukum Kab. Pangkep menganggap tindakan Rumah Sakit telah melakukan tindakan yang sesuai dengan SOP dan atauran yang ada. Untuk kemudian untuk memastikan tindakan tersebut perlu ditangani oleh pihak yang berwenang seperti dewan etik atau komite etik. (*)