Home Daerah Sejumlah Tokoh Adat Pertanyakan dan Tolak Munculnya Organisasi/Lembaga Tongkonan Adat Sang Torayan

Sejumlah Tokoh Adat Pertanyakan dan Tolak Munculnya Organisasi/Lembaga Tongkonan Adat Sang Torayan

REPLIKNEWS, TORAJA - Sejumlah tokoh adat dari beberapa komunitas adat yang ada di Toraya (Tana Toraja dan Toraja Utara) pertanyakan munculnya organisasi/lembaga baru yang mengatasnaman diri sebagai Tongkonan Adat Sang Torayan. 

Hadirnya organisasi/lembaga ini memicu macam reaksi dari sejumlah tokoh adat di Toraya. Mereka mempertanyakan hingga menolak keberadaan organisasi/lembaga ini, sebab dinilai mengklaim semua tongkonan yang ada di Toraja tanpa sepengetahuan tokoh adat dan masyarakat adat dari 32 komunitas yang memiliki tongkonan di wilayah adatnya masing-masing. 

Mereka mempertanyakan dasar dan tujuan pembentukan organisasi/lembaga ini hingga diberi nama Tongkonan Adat Sang Torayan. 

Tokoh adat Toraya yang juga Ketua Komunitas Adat Makale, Eric Crystal Ranteallo mengaku tidak tau bahkan tidak pernah menyetujui pembentukan organisasi/lembaga ini. 

"Artinya begini kita tidak melarang orang membuat suatu organisasi, tapi kan organisasi ada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga?, apa yang dia mau atur?, apa yang dia mau buat atas organisasi itu?," tanya Eric Crystal. 

Menurut Eric Crystal Ranteallo, pemaknaan nama tongkonan juga harus dipahami, apa tongkonan dalam konteks kelompok sendiri atau toraja secara keseluruhan. 

"Sama seperti lembaga adat, hanya sebatas organisasi ka? atau lembaga adat seluruh Toraja, dan kalau seluruh Toraja idealnya itu para pamangku adat dari semua wilayah adat masing-masing tentu harus duduk bersama untuk memilih," jelasnya. 

Eric menegaskan tidak sepakat jika organisasi/lembaga ini mengatasnamakan tongkonan adat  sang Torayan. 

Untuk itu kata dia, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, dalam membentuk suatu organisasi yang mengatasnamakan tongkonan adat sang torayan (seluruh toraja) perlu duduk bersama melibatkan semua tokoh adat dari setiap komumitas adat yang ada di Toraja. 

"Kalau mengatasnamakan Tongkonan seluruh toraja saya tidak setuju, kalau pribadi itu urusan mereka," bebernya. 

Ia menjelasakan Tongkonan itu mempunyai wilayah serta fungsinya masing-masing di setiap wilayah adat dan tidak bisa di intervensi wilayah adat lain. 

"Kita tidak bisa intervensi orang punya tongkonan. Masing-masing kita berbicara didalam wilayah adat kita, misalnya saya di wilayah adat Makale yaa saya berbicara wilayah adat Makale, itupun saya diangkat sebagai pemangku adat atau tokoh adat hanya bisa memberikan saran dan masukan, sifatnya kita hanya memfasilitasi," ungkapnya. 

Eric menegaskan, saat ini sudah banyak oknum yang mengaku sebagai tokoh adat, tanpa sadar ditokohkan siapa dan dari wilayah adat mana. 

"Saat ini sudah banyak yang mengaku sebagai tokoh adat tanpa kita tahu siapa yang tokohkan kita ini, diwilayah adat mana kita ditokohkan?," tegasnya. 

Ia menjelaskan dalam satu keluarga tidak semua dituakan. Tentu ada satu dua orang yang bisa jadikan panutan dalam satu rumpun keluarga melalui urung rembuk dan mencirikan sebagai orang toraja yang bisa diteladani (Sugi, Barani Na Kina). 

"Tidak ada orang lain yang bisa mengintervensi tongkonannya orang lain. Kalau ada punya masalah, tongkonan itu bermasalah tidak apa-apa kita memberikan masukan (Sipakalila)," ujarnya. 

Eric juga mengatakan, setiap wilayah adat itu memiliki serekan bane' (aturan adat masing) di wilayahnya masing-masing.

"Tidak bisa misalnya di Tallulembangna mau pergi ngatur Tongkonan di Bittuang atau di daerah lain. Tetapi sebagi tetua adat kita bisa memberikan saran dan masukan kalau memang kita dituakan. Orang diangkat tokoh adat atau dituakan itu tidak semuda yang kita bayangkan," bebernya. 

Hal senada disampaikan tokoh adat yang juga ketua Komunitas Wilayah Adat Buakayu, Rosina Palloan, ia mengaku tidak tau dan tidak pernah menyetujui pembentukan Tongkonan Adat Sang Torayan.

"Kita tidak pernah mengetahui dan menyetujui pembentukan Tongkonan Adat Sang Torayan. Perlu dipahami bahwa 32 wilayah adat yang ada di Toraja itu masing-masing otonom di wilayahnya," terangnya. 

Senada dengan itu, tokoh adat dari ulusalu, Y.S Tandirerung mengaku kaget dengan munculnya ornasisasi/lembaga yang mengatasnamakan diri Tongkonan Adat Sang Torayan. 

"Saya juga kaget waktu baca di medsos (Media Sosial) kok ada yang mengatasnamakan Dewan Pimpinan Pusat Tongkonan Adat Sang Torayan. Karena menurut saya ditiap-tiap wilayah adat di Toraja itu masing-masing punya otonomi khusus, jadi sejak dari dulu belum pernah ada kesepakatan dari 32 wilayah adat untuk membentuk dewan pimpinan pusat Wilayah Adat Sang Torayan," terangnya. 

Ia menegaskan, wilayah adat ulusalu tidak pernah menyetujui pembentukan organisasi/lembaga yang mengatasnamakan Tongkonan Adat Sang Torayan. 

"Kami dari ulusalu merasa keberatan kalau ada yang mengatasnamakan Dewan Pimpinan Pusat Tongkonan Adat Sang Torayan, karena setau kami tidak ada yang membentuk semacam itu. Perlu juga dipahami bahwa masing-masing 32 komunitas adat yang ada di Toraja itu punya otonomi khusus, tidak ada yang saling membawahi," jelasnya.

Meski begitu, ia menyatakan setiap orang mempunyai hak untuk berserikat, namun tidak mengkalim seluruh tongkonan atau masyarakat adat yang ada di Toraja. 

"Kita pahami setiap orang punya kebebasan untuk berserikat namun demikian jangan mengatasnamakan Tongkonan Adat Sang Torayan. Biarkan saja mereka bikin untuk wilayah adatnya tapi kalau mau mengklaim bahwa mereka yang pimpin ini Sang Torayan (Seluruh Toraja), saya kira ini hampir sama dengan orang yang pernah mau melantik raja di Toraja," ungkapnya. 

Untuk itu, ia menegaskan Aliansi Masyaraksat Adat Nusantara (AMAN) yang sudah terdaftar di Kemenkumham tidak ada hubungannya dengan organisasi/lembaga Tongkonan Adat Sang Toraya. 

Penolakan pembentukan organisasi/lembaga Tongkonan Adat Sang Torayan juga disampaikan T.K Pongmanapa selaku Ketua Komunitas Adat Se'seng.

"Saya T.K Pongmanapa Ketua Komunitas Adat Se'seng menolak keberadaan Tongkonan Adat Sang Torayan. Tidak ada Tongkonan di Se'seng mendukung keberadaannya," tegasnya. 

Menurutnya semua komunitas adat di Toraya otonom di wilayahnya masing-masing. 

"Kami masyarakat adat Se'seng menghormati semua komunitas adat di Toraya karena masing-masing komunitas adat adalah otonom," terangnya.

"Marilah kita semua memegang teguh pesan-pesan leluhur agar semuanya tetap berjalan semestinya. Tidak semua rumah Toraja adalah Tongkonan karena Tongkonan memiliki fungsi dan peran. Saat ini banyak rumah Toraja dibangun karena kemampuan ekonomi tapi tidak memiliki fungsi dan peran adat," ujarnya. 

Sementara, Layuk Sarungallo, sala satu tokoh adat dari Komunitas Adat Kesu' juga menyatakan pembentukan lembaga/organisasi Tongkonan Adat Sang Torayan tanpa sepengetahuan komunitas adatnya. 

"Tidak ada sepengatuan kami, karena ini upaya kudeta sebenarnya," terangnya. 

Ia menyebut, pihaknya akan mengambil langkah tegas mencari tau siapa yang membentuk organisasi/lembaga tersebut. 

"Supaya kita jangan di pecah belah orang, makanya saya mau telusuri siapa inisiator dari aliansi tandingan ini. Saya akan menghadap Bupati (Toraja Utara) dan kalau perlu dengan siapa kita klarifikasi masalah ini, jangan kita di kotak-kotakkan," terangnya. 

Tanggapan juga muncul dari Tokoh Adat Toraya dari Wilayah Adat Sa'dan, Lewaran Rantela'bi. Ia menegaskan pembentukan suatu organisasi/lembaga harus memiliki dasar hukum yang jelas. 

"Inikan orang sekarang seenaknya membuat suatu lembaga baru, tanpa ada regulasi yang mendasari, jadi jangan seenaknya membuat suatu kelembagaan yang tidak ada dasarnya," tegasnya. 

"Beda dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara sudah diakui secara nasional, bahkan secara dunia juga sudah diakui dan juga diakui oleh PBB," sambungnya. 

Menurutnya sudah banyak organsisasi/atau lembaga di Toraja yang membawa nama adat.

"Kita di Toraja memang terlalu banyak, ada yang membuat LAT, ada yang membuat Tongkonan. Inikan hal-hal seperti itu menurut saya pribadi itu tidak sah secara aturan yang ada," ujarnya.

Sementara itu kata dia, AMAN sendiri yang sudah sah dan diakui negara saat ini tengah memperjuangkan pengesahan RUU Masyarakat Adat di pusat. 

Ia juga menekankan, setiap wilayah adat yang ada di Toraja otonom di wilayahnya masing-masing. 

"Tidak boleh satu komunitas adat mengintervensi masyarakat adat di wilayah lain, itu yang perlu kita pahami bersama. Karena tatanan adat yang berlaku adalah tatanan adat yang ada di wilayah adatnya," terangnya. 

Lewaran juga menegaskan, Komunitas Adat Sa'dan tidak mengakui keberadaan organisasi atau lembaga tersebut. 

"Mestinya kalau memang itu dia bentuk, dia harus pertanggungjawabkan siapa dari masing-masing 32 wilayah adat yang merekomendir itu sebagai Tongkonan Adat. Kalau kami komunitas adat sa'dan tidak mengakuai hal seperti itu," tegasnya. 

Tanngapan juga muncul dari, Ketua Komunitas Adat Madandan. Ia mempernyakan dasar pembentukan organisasi atau lembaga ini yang mengatasnamakan diri sebagai Tongkonan Adat Sang Torayan. 

"Kalau organisai dibentuk saya kira tidak masalah kalau sesui peraturan yang ada dan tujuannya baik, tetapi kalau organisasi dibentuk secara luas perlu dipertanyakan, apa jiwanya orgnisasi itu kepada masyarakat termasuk saya. Jangan sampai ada organisasi yang muncul di masyarakat tidak memberikan dampak yang positif kepada masing-masing komunitas adat di tiap-tiap wilayahnya, karena ingat masyarakat adat di Toraja itu tidak dibawahi satu kepemimpinan, tetapi masing-masing wilayah itu mempunyai aturan tersendiri, mempunyai pimpinan tersendiri dalam setiap wilayah adat," jelas Saba' Sombolinggi. 

Saba' yang juga adat pendamai di Madandan menegaskan, keberadaan organisasi/lembaga ini mengintervensi wilayah-wilayah adat yang ada di Toraja yang dapat memicu kecemburuan antar sesama masyarkaat adat. 

"Jangan menghadirkan intervensi terhadap wilayah-wilayah adat tertentu. Ketika kita menghadirkan intervensi terhadap wilayah adat tertentu dan tidak pas dengan wilayah adat tersebut, itu tidak akan ada solusi yang dihadirkan, mala kita di Toraja itu ada kecemburuan yang muncul ketika ketika solusi yang dihadirkan tidak netral," terangnya. 

Mantan Kepala Lembang Madandan 10 tahun lebih itu mengatakan, di Wilayah Adat Madandan jika ada orang asing yang akan datang membawa solusi yang tidak pas dan tidak dapat di terima oleh masyarakat adat di wilayahnya itu tidak bisa. Apalagi kata dia, jika tidak ada hubungannya dengan Wilayah Adat Madandan. 

"Jangan hadir menjadi pahlawan di wilayah kami, kami memiliki Tongkonan, kami memiliki pemerintahan adat yang dapat mengatur kami sendiri yang sudah turun temurun menjadi panutan. Kami tidak memiliki panutan diluar wilayah adat kami. Kami terima jika itu baik tetapi kami tidak bisa diintervensi oleh kekuatan adat lain, kekuatan daerah lain," kata Saba'. 

Ia menjelaskan wilayah-wilayah adat di Toraja sudah otonom sejak dulu (Mane Ditulak Buntunna Bone), setelah itu kembali semua ke wilayah membentuk wilayah-wilayah pemerintahan adat yang ditanggungjawab oleh pemimpinnya.

"Kami tidak akan terima jika lembaga/organisasi ini akan mengintervensi keberadaan kami, siapa sih mereka, apa pengetahuannya tentang etika, tata cara, adat di dalam wilayah adat kami. Kami punya aturan tersendiri, kami punya pemimpin, kami punya Topadatindo, kami punya karasiak, kami punya wilayah adat," ungkapnya. 

Meski begitu, ia tetap menghormati setiap orang yang akan membentuk organisasi/lembaga jika itu bermanfaat untuk kelompoknya.

"Tetapi jangan coba-coba mengintervensi masuk wilayah adat lain. Jangan kita membentuk suatu organisasi mengatasnamakan orang banyak ketika itu muncul karena kepentingan, muncul karena egois karena ingin ada pengakuan dari orang lain. Pengakuan itu akan muncul ketika kita memiliki niat baik, bukan kita memaksa orang lain mengakui kita," pungkasnya. 

Penulis       : Dirga Y. Tandi
Editor         : Redaksi