REPLIKNEWS, TANA TORAJA - Pasca bencana tanah longsor di Kecamatan Makale dan Makale Selatan, Tana Toraja (15 April 2024) yang lalu, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) cabang Toraja St. Paulus melakukan serangkaian kajian lintas ilmu, tentang bencana tanah longsor yang masif terjadi di bumi Lakipadada.
Diketahui bahwa berdasarkan data BPBD, pada tahun 2024 saja, telah terjadi lebih dari 40 kali kejadian tanah longsor di Tana Toraja. Sementara, peneliti Walhi Sulsel menyebutkan bahwa setidaknya Walhi mencatat ada 70 kali kejadian tanah longsor di Tana Toraja sejak tahun 2019.
Ini menimbulkan pertanyaan serius, apa sebenarnya yang menjadi penyebab sering terjadinya bencana tanah longsor di Tana Toraja.
Dalam salah satu kajian yang menghadirkan Kepala Balai Pemantauan Gunung Api dan Mitigasi Bencana Gerakan tanah Wilayah Nusa Tenggara, Zakarias D. G. Radja, S.T., M.IL, diperoleh beberapa data yang cukup mengejutkan.
Berdasarkan peta geologi yang dipaparkan Zakarias, Tana Toraja dan Toraja Utara seluruhnya memang berada dalam zona rawan pergerakan tanah. Ini, menurut beliau merupakan kombinasi dari beberapa faktor.
Yang pertama adalah kondisi batuan di wilayah Toraja yang merupakan batuan tua (jenis batuan miosen-eosen dengan usia 33 – 34 juta tahun) yang sedang mengalami pelapukan, tanpa adanya batuan muda yang lebih keras. Curah hujan yang tinggi juga ditengarai menjadi penyebab longsor, di samping aktivitas manusia yang merubah fungsi dan kondisi lahan, kemiringan lereng pada daerah Toraja yang berbukit-bukit serta faktor erosi. Ini berarti bahwa Toraja menjadi daerah yang sangat rentan dengan bencana tanah longsor.
"PMKRI memandang, bahwa semua pihak yang berkepentingan tidak boleh mengabaikan kondisi ini, terutama setelah juga melakukan kajian terhadap manajemen kebencanaan di Tana Toraja dan Toraja Utara yang dilakukan selama ini. Sudah seharusnya manajemen kebencanaan di Toraja memperhatikan secara khusus potensi pergerakan tanah dan bencana tanah longsor ini, dan menjadikannya prioritas utama," ujar ketua PMKRI Cabang Toraja, Demianus, Jumat (26/4/2024).
Demikian pula kata Demianus, sudah saatnya peta pembangunan dan pola hidup masyarakat menjadikan hal ini sebagai pertimbangan utama, agar bencana seperti ini dapat dihindari atau minimal meminimalisir adanya korban dan kerugian. Sementara, pendekatan anggaran kebencanaan perlu disesuaikan dengan perspektif penanganan bencana yang kini paradigmanya berubah, dan pelibatan lebih banyak elemen masyarakat dalam mitigasi dan penanganan bencana secara terpadu perlu diperluas.
Oleh karena itu, PMKRI Cabang Toraja St. Paulus mengajukan rekomendasi sebagai berikut:
1. Mendesak Pemerintah untuk membentuk Tim Siaga Bencana di setiap lembang/ kelurahan di seluruh wilayah administrasi Tana Toraja dan Toraja Utara. Ini bertujuan mendekatkan mitigasi bencana langsung ke titik potensial dengan melibatkan langsung masyarakat sekitar sehingga menjadi lebih cepat dan efisien.
2. Mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan peta geologi dalam melakukan pembangunan dan merancang Tata Ruang. Ini bertujuan agar pembangunan dan perencanaan tata ruang menjadi jauh lebih aman dari potensi timbulnya bencana tanah longsor berikut kerugian dan korban yang dapat terjadi.
3. Mendesak pemerintah untuk meningkatkan pengalokasian anggaran pra bencana. Paradigma penanganan bencana telah berubah dengan menitikberatkan fokus pada masa pra bencana, bukan pada saat tanggap darurat bencana atau pasca bencana (bandingkan Peraturan Pemerintah no.22 thn. 2008). Peningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan, edukasi yang baik dan kontinyu serta penyiapan sarana dan manajemen yang mumpuni di masa pra bencana akan meminimalisir resiko timbulnya bencana maupun jatuhnya korban; dan ini semua membutuhkan anggaran yang cukup.
4. Mendesak pemerintah untuk mewajibkan setiap pengelola objek wisata di Toraja mempersiapkan manajemen mitigasi kebencanaan di setiap objek wisata yang dikelola. Objek wisata alam di Tana Toraja dan Toraja Utara berada di lokasi yang bentang alamnya memiliki potensi bencana. Dibutuhkan manajemen mitigasi kebencanaan yang benar di setiap objek wisata, agar menjamin keamanan dan kenyamanan wisatawan. Ini akan meningkatkan kualitas pelayanan pariwisata di kedua kabupaten, sekaligus meningkatkan minat wisatawan untuk datang berkunjung ke objek wisata yang ada.
5. Mendesak pemerintah untuk memasukkan pendidikan mitigasi bencana dalam muatan lokal kurikulum pendidikan di Tana Toraja dan Toraja Utara. Dibutuhkan perubahan perilaku masyarakat secara menyeluruh, agar mampu hidup dengan tangguh di wilayah rawan bencana. Pendekatan melalui kurikulum pendidikan diyakini akan membangun kesadaran dan merubah perilaku masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana, sebagaimana telah di lakukan di daerah maupun negara lain.
6. Mendesak pemerintah untuk melibatkan seluruh kalangan masyarakat dalam meningkatkan pemahaman mitigasi kebencanaan dan pentingnya memelihara lingkungan sekitar sebagai upaya merawat alam. Aktivitas manusia adalah salah satu faktor pemicu terjadinya bencana. Maka, perlu melibatkan seluruh masyarakat dalam mitigasi kebencanaan dan membangun kesadaran untuk meminimalisir aktivitas yang dapat memicu terjadinya bencana.
7. Mendesak pemerintah dari Kabupaten hingga sampai ke lembang/kelurahan untuk mensosialisasikan titik daerah yang sangat rawan bencana menurut peta geologi. Sosialisasi ini dapat dilakukan lintas sektoral, dengan tujuan membangun kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat.
8. Mendesak pemerintah untuk menghentikan aktivitas penyadapan getah pinus, karena pohon pinus merupakan salah satu tumbuhan yang sangat kuat dalam menahan laju erosi air. Penyadapan getah pinus ditengarai menyebabkan hilangnya sebagian hutan tutupan pinus yang menyebabkan mudahnya terjadi erosi dan pergerakan tanah. Akar pinus (dan jenis pohon tertentu lainnya) memiliki cengkeraman yang kuat dan dalam sehingga mampu mencegah dan mengurangi pergerakan tanah.
9. Mendesak pemerintah untuk melakukan gerakan reboisasi di seluruh daerah Toraja dan menghentikan segala bentuk kegiatan konversi lahan yang berlebihan. Sama seperti poin sebelumnya, penebangan besar-besaran dan alih fungsi hutan menjadikan tanah rentan terhadap erosi dan longsor. Reboisasi harus segera dilakukan secara menyeluruh dengan manajemen terpadu, dan tidak lagi sebagai seremonial belaka sebagaimana sering terjadi belakangan ini.
10. Meminta seluru Masyarakat Toraja untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana tanah longsor, terutama di musim hujan. Pengaktifan kembali siskamling, penguatan sistem komunikasi dan informasi baik dengan memanfaatkan kebiasaan yang telah lazim maupun dengan pendekatan baru, pembuatan tanda/ rambu rawan bencana, penyediaan jalur evakuasi dan titik kumpul adalah beberapa hal yang dapat dilakukan secara langsung oleh masyarakat dengan pendampingan yang benar dari pemerintah.
"Demikian point-point rekomendasi yang di sampaikan oleh Perhimpunn Mahasiwa Katolik Republik Indonesia Cabang Toraja Sanctus Paulus, dengan harapan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara, Religio Omnium Scientiarum Anima, Pro Ecclesia et Patria," pungkas Demianus.
Editor : Redaksi