REPLIKNEWS - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 kini mulai ramai diperbincangkan. Terkhusus di Tana Toraja sejumlah nama sudah mulai muncul kepermukaan hingga ramai diperbincangkan di media sosial (medsos) bahkan di warung kopi.
Hal ini memantik pendapat atau opini dari berbagai elemen masyarakat hingga diaspora Toraja yang ada di perantauan.
Salah satunya datang dari Dr. dr. Nataniel Tandirogang M.Si, Dosen pada Fakultas Kedokteran Unmul, Sekretaris Senat Universitas Mulawarman 2019-2023; Ketua IDI Kalimantan Timur, 2015 – 2022; Pengurus IKAT Kalimantan Timur.
Berikut opini Dr. dr. Nataniel Tandirogang M.Si berjudul "Menelisik Keterwakilan pada Panggung Suksesi Kepala Daerah Tana Toraja 2024" ditulis di Samarinda, 9 Maret 2024.
Panggung pilkada serentak 2024 mulai mengemuka, secara khusus untuk pilkada Tana Toraja 2024 pasca berakhirnya pemilihan legislatif pada semua tingkatan. Walaupun belum ada penetapan resmi dari KPU Pusat, tetapi setiap partai dan peserta konsestasi pileg telah mengetahui dan mempunyai data berapa kursi dan siapa yang lolos pada setiap tingaktan anggota legislatif. Partai politik dan calon legislatif telah memperoleh gambaran tentang komposisi kekuatan politik yang akan mempengaruhi pemilihan kepala daerah.
Dalam konteks ini, kalkulasi strategis berbasis hasil pemilihan legislatif menjadi dasar untuk menentukan calon yang potensial diusung, mengingat bahwa demokrasi menuntut representasi yang akurat dan inklusif dari keberagaman masyarakat.
Dalam konteks demokrasi, pemilihan kepala daerah seperti bupati atau walikota di Indonesia memainkan peran penting dalam menjalankan prinsip keterwakilan, memberikan masyarakat kesempatan untuk memilih pemimpin yang mewakili kepentingan dan aspirasi mereka.
Salah satu aspek penting dalam demokrasi adalah representasi, yang berarti pemilihan pemimpin harus mencerminkan keberagaman sosial, budaya, etnis, agama, dan gender dalam masyarakat, yang dalam konteks pilkada Tana Toraja keterwakilan wilayah barat (Toraja Barat) menjadi penting untuk diwacanakan.
Mengapa Toraja Barat menuntut keterwakilan?
Hal ini dengan sangat mudah dipahami bahkan sudah diwacanakan menjadi DOB sejak 20 tahun silam jauh sebelum Toraja Utara dimekarkan. Sebelas kecamatan yang terdiri dari Kecamatan Bonggakaradeng, Rano, Simbuang, Mappak, Rembon, Saluputti, Malimbong Balepe', Bittuang, Masanda, Rantetayo, dan Kurra dengan luas wilayah hampir 2/3 dari luas wilayah Tana Toraja bersekutu untuk membentuk kabupaten Toraja Barat. Hal ini dipicu dengan disparita dari semua bidang pembangunan ekonomi, layanan publik, fasilitas pemerintahan, pendidikan, transportasi, listrik, pengelolaan air bersih dan prasarana lainnya antara 11 Kecamatan yang ada di Wilayah Barat dengan 8 kecamatan yang ada di Wilayah Timur.
Sehingga timbul asumsi bahwa Tana Toraja wilayah barat masih sangat terbelakang dan kesejahteraan masyarkatnya jauh lebih rendah. Harapannya dengan menjadi salah satu pemegang kekuasaan di Tana Toraja, kebijakan politik dapat memperioritaskan pembangunan di Wilayah Barat untuk mengejar ketertinggalan yang ada saat ini. Dengan demikian kesenjangan sosial antara barat dan timur dapat dikurangi.
Walaupun demikian, nararasi tentang keterwakilan sering kali diangkat ke permukaan. Ini bukan hanya sekedar perbincangan tentang inklusivitas dan keadilan sosial, tetapi juga, pada banyak kesempatan, menjadi sebuah strategi politik yang diarahkan untuk menarik dukungan massa. Fenomena ini, meskipun pada awalnya terlihat sebagai langkah positif menuju representasi yang lebih luas, sering kali menyembunyikan motivasi yang lebih kompleks dan kadang-kadang oportunis.
Contoh nyata dari dinamika ini dapat dilihat dalam beberapa pemilihan kepala daerah di Indonesia. Sebagai contoh, pada Pilkada Solo 2010, Joko Widodo berhasil memenangkan hati masyarakat dengan pendekatan yang inklusif dan merakyat. Pendekatan Jokowi tidak hanya berfokus pada keterwakilan etnis atau agama, melainkan lebih kepada kinerja dan kemampuan membangun dialog dengan semua lapisan masyarakat. Hal ini menunjukkan bagaimana keterwakilan dalam demokrasi bisa lebih dari sekadar identitas, tetapi juga tentang kapabilitas dan visi dalam memajukan kesejahteraan masyarakat.
Namun, pemilihan kepala daerah juga bisa memunculkan tantangan bagi demokrasi, terutama ketika narasi keterwakilan digunakan untuk memecah belah masyarakat. Sebagai contoh, dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, isu agama dan etnis menjadi sangat dominan. Kampanye yang berfokus pada identitas agama dan etnis mengakibatkan polarisasi dalam masyarakat, menunjukkan bagaimana strategi politik berbasis identitas dapat mengganggu prinsip kesatuan dan keberagaman dalam demokrasi.
Kedua contoh ini menunjukkan bagaimana narasi keterwakilan bisa dimainkan dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia, baik sebagai alat untuk membangun dukungan melalui inklusivitas dan kinerja, maupun sebagai strategi untuk memecah belah masyarakat berdasarkan identitas agama dan etnis. Situasi ini menggarisbawahi pentingnya pemilih untuk melihat lebih dalam dari sekadar narasi keterwakilan, dan lebih memfokuskan pada rekam jejak, kebijakan, dan visi calon untuk memajukan daerahnya. Penting bagi kita semua untuk menyadari bahwa narasi keterwakilan harus melampaui identitas primordial dan fokus pada isu-isu yang mempengaruhi kesejahteraan bersama.
Para ilmuwan dan filsuf telah lama memperdebatkan dinamika di balik narasi keterwakilan ini. Stuart Hall, seorang teoretikus budaya, mengemukakan bahwa identitas politik sering kali dibentuk dalam konteks kekuasaan dan politik, di mana representasi menjadi alat untuk mempertahankan atau mengubah hegemoni. Menurut Hall, narasi keterwakilan dalam pemilihan bisa menjadi cara untuk mengakui keragaman masyarakat, namun juga bisa menjadi mekanisme untuk memanipulasi identitas demi keuntungan politik.
Chantal Mouffe, seorang filsuf politik, mengajukan konsep "agonistik" dalam politik, di mana perjuangan antar identitas dan ideologi dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari demokrasi. Mouffe menyarankan bahwa politik identitas dalam pemilu tidak harus dilihat hanya sebagai upaya manipulatif, tetapi juga sebagai ruang untuk perdebatan dan negosiasi makna kebersamaan dalam masyarakat yang plural. Ini menunjukkan bahwa sementara narasi keterwakilan bisa digunakan sebagai strategi politik, ia juga memiliki potensi untuk menjadi sarana demokratis yang memperkuat keragaman dan dialog.
Namun, Noam Chomsky, seorang linguist dan kritikus sosial, sering menekankan bagaimana media dan elite politik menggunakan isu-isu seperti ras, agama, dan gender untuk memecah belah dan mengalihkan perhatian dari isu-isu ekonomi dan kebijakan yang lebih mendasar. Chomsky berargumen bahwa narasi keterwakilan sering kali disalahgunakan untuk mengalihkan diskusi dari perubahan sistemik yang diperlukan untuk mengatasi ketidaksetaraan yang akar.
Dari perspektif ini, penting bagi kita semua untuk mengevaluasi secara kritis penggunaan narasi keterwakilan dalam pilkada. Warga negara harus mempertimbangkan apakah janji keterwakilan diikuti dengan tindakan nyata yang mendukung inklusivitas dan keadilan, atau hanya menjadi retorika kosong. Kritik dan analisis ini esensial untuk memastikan bahwa proses demokrasi tidak hanya menghasilkan representasi simbolis, tetapi juga perubahan substantif yang mendukung semua anggota masyarakat.