REPLIKNEWS, PANGKEP – Yang dijanjikan adalah terang, yang datang justru asap. Rabu siang, Tamus jadi saksi murka mahasiswa. Ban dibakar, jalan diblokade, dan mikrofon orasi bergema lebih lantang daripada bunyi genset di desa.
Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa (IPPM) Pangkep turun ke jalan, menuntut kejelasan soal dugaan pungli dalam program Super Sun—kerja sama PLN dan Pemerintah Kabupaten Pangkep yang katanya bertujuan mulia: menerangi desa-desa kepulauan. Tapi nyatanya, sebelum cahaya sampai, warga lebih dulu dipalak.
“Rp1,350 juta sampai Rp1,5 juta. Katanya biaya pemasangan. Tapi anehnya, yang nagih malah lurah dan kepala desa, bukan teknisi PLN,” sindir Syahrul, Ketua Umum IPPM, dalam orasinya yang menyulut semangat massa. Rabu (23/04)
Program Super Sun digadang-gadang sebagai solusi elektrifikasi. Tapi belakangan, jadi cerita gelap: warga mengeluh dimintai uang, tanpa nota, tanpa mekanisme, tanpa jawaban.
“Kalau ini bantuan, kenapa ada harga? Kalau ini pemasangan resmi, mana kuitansi dan dasar hukumnya? Atau jangan-jangan ini hanya Super Sun untuk ‘super setor’?” tambah Syahrul.
Sekitar 78 mahasiswa dari berbagai kampus berkumpul di bawah terik matahari dan bau karet terbakar. Tak sekadar protes, mereka bergerak menuju Gedung DPRD Pangkep. Harapan mereka sederhana: agar para pemegang kuasa berani buka suara.
Namun yang datang hanya Komisi I DPRD. IPPM menolak audiensi tersebut, menyebut persoalan ini terlalu besar untuk dibatasi pada ruang komisi.
“Kami bicara tentang praktik pungli yang masif, bukan soal administrasi kecil. Tapi para pimpinan dewan dan pejabat publik malah tiarap. Tak satu pun camat, lurah, kepala desa, apalagi pihak PLN yang hadir. Mungkin mereka sedang sibuk cari colokan,” sindir Akbar, Jenderal Lapangan IPPM.
Aksi berakhir tanpa bentrok. Tapi IPPM tak bubar dalam diam. Mereka mengumumkan: Aksi Jilid II segera digelar, dengan massa lebih besar dan tuntutan lebih keras.
“Kalau kalian tak berani keluar dari balik ruangan ber-AC, kami akan datang mengetuk. Kalau tak dibukakan, kami dobrak dengan suara rakyat,” tutup Syahrul.
Di atas kertas, program Super Sun adalah solusi. Di lapangan, ia menjelma polemik. Listrik mungkin telah tiba, tapi nyala keadilan tampaknya masih padam. Dan di Pangkep, terang ternyata bisa datang dengan kuitansi fiktif.
Penulis : Wihandi
Editor : Redaksi