REPLIKNEWS, PANGKEP – Peresmian fasilitas pengelolaan sampah menggunakan teknologi Refuse-Derived Fuel (RDF) di pabrik semen, dijadwalkan pada 1 November 2024. Meskipun diklaim sebagai solusi inovatif untuk mengurangi sampah dengan mengubahnya menjadi bahan bakar alternatif, kebijakan ini justru menuai kritik keras dari pemuda dengan melihat dampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Wihandi Wiguna mempertanyakan dasar dan urgensi kolaborasi ini, terutama mengingat pabrik semen merupakan salah satu industri penyumbang terbesar emisi karbon dan pencemaran udara. Berdasarkan data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan sejumlah penelitian, emisi dari pembakaran batu bara dan RDF berisiko menambah polusi udara, yang bisa memperburuk pemanasan global dan meningkatkan risiko penyakit pernapasan di daerah sekitar. Dampak ini tentunya bertolak belakang dengan semangat keberlanjutan yang diharapkan dari pengelolaan sampah.
“Kebijakan ini seakan menutup mata terhadap kontribusi pabrik semen terhadap pencemaran udara di Pangkep, dengan mengatasnamakan pengelolaan sampah. RDF bisa jadi bukan solusi lingkungan, melainkan justru jalan pintas bagi pabrik untuk meminimalkan biaya energi,” ungkap salah satu perwakilan pemuda. Kamis (31/10/2024)
Lanjut Wihandi Wiguna yang juga yang merupakan Kabid Komunikasi dan Advokasi Pengurus Pusat IPPM Pangkep juga menyayangkan minimnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan ini. Mereka menilai bahwa pemerintah seharusnya mendasarkan kebijakan lingkungan pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang tercantum dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, guna memastikan bahwa setiap kebijakan benar-benar tidak merugikan masyarakat dan ekosistem di sekitarnya.
“Proyek ini harus lebih dari sekadar formalitas peresmian. Kami menuntut pengkajian yang sungguh-sungguh dan terbuka agar tidak menjadi ancaman bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat Pangkep,” tambah wihandi Wiguna.
Penulis : Wahyu
Editor : Redaksi