Home Daerah Unik, Budaya Mangngaro di Nosu, Kabupaten Mamasa

Unik, Budaya Mangngaro di Nosu, Kabupaten Mamasa

REPLIKNEWS, MAMASA - Kecamatan Nosu adalah Kecamatan tertinggi di Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat, yang berada pada ketinggian sekitar 2.573 MPDL, dikelilingi pebukitan dan hutan lebat serta memiliki kekhasan suasana yang sangat dingin, menyajikan hasil bumi yang beragam seperti kopi, padi, alpukat, terung belanda, markisa, jambu, tanaman holtikultura, dan sebagainya.

Kecamatan Nosu juga merupakan bagian dari suku Toraja yang memiliki ragam adat dan budaya. Pada dasarnya masyakarat di nosu sangat menghormati leluhur walaupun sudah meninggal yang melahirkan tradisi turun-temurun yang sangat unik masyarakat nosu menyebutnya Mangngaro, Jumat (02/08/2024).

Mangngaro merupakan upacara kematian (rambu solo’) ritual khas yang telah berakar dalam penganut aluk tomatua (kepercayaan masyarakat lokal), sebagai kelanjutan dan kesempurnaan upacara pemakaman dan mengangngap ini kewajiban bagi manusia yang masih hidup untuk menghormati, dan mengasihi jasad leluhur.Kurniawan mengatakan bahwa bulan agustus adalah suatu momen yang tepat bagi tiap kalangan berkunjung ke Nosu merasakan sensasi suhu dingin, menikmati pesona keindahan alam, sajian hasil bumi yang beragam, dan yang tak kalah penting ialah melihat dan menyaksikan secara langsung tradisi budaya mangngaro.

Masyarakat Nosu mayoritas menganut agama kristen memahami dan memaknai bahwa mangngaro adalah budaya khas yang harus di lestarikan dan penghormatan kepada orang tua atau  jasad leluhur yang bersesuaian dengan ajaran agama kristen.

"Di Nosu sendiri penganut kepercayaan lokal kian makin berkurang, namum kehadiran agama kristen yang mayoritas di anut masyarakat Nosu mampu beradaptasi dengan tradisi ini dan terus melestarikan dan menjaga nilai-nilai kesakralannya," ucap Kurniawan.

Tradisi budaya mangngaro  dilakukan dengan mengeluarkan kembali  jasad leluhur dari liang kuburan (alang-alang) dan goa (lo’ko), lalu semayakan tenda (lattang) ditanah datar sekitar persawahan (ratte) selama satu hari untuk memperbaiki bungkus jasad yang sudah rusak, juga sebagai ruang membalut kerinduan kepada jasad leluhur, dan berkumpul, bertemu dengan rumpun keluarga yang tersebar di berbagai perantauan. Selain antar antar anggota keluarga yang masih hidup, antar keluarga yang masih hidup dengan yang sudah lama meninggal, bahkan sesama orang mati dapat dipertemukan dalam satu pertemuan besar kelurga.Masyarakat Nosu menetapkan bulan agustus sebagai bulan Liang (Ziarah ke kuburan)  bulan liang bisa di adakan sepanjang bulan agustus dan menjelang akhir bulan liang di situlah dilaksanan ritual Mangngaro sebagai penutup bulan liang dan setelah ritual Mangngaro dilaksanakan bulan liangpun ditutup (tidak boleh lagi ziarah ke kubur).

"Tentu saya sangat besyukur lahir di daerah yang dikenal dingin ini, juga berterima kasih kepada leluhur telah menghadirkan dan mewariskan tradisi ini, sebab melalui tradisi ini adalah momentum perjumpaan dengan rumpun keluarga dan mengobati rasa rindu dengan jasad leluhur  meskipun tak lagi saling tegur sapa," ungkapnya.

"Tradisi warisan leluhur kami ini dilakukan sekali setahun pada bulan agustus selepas panen padi dan sebelum penanaman selanjutnya, tradisi ini juga telah mendapat pengakuan secara nasional dan terdaftar pada data base Pusat Data Nasional Kekayaan Intelektual Komunal (PDN KIK)," lanjutnya. 

Pelaksanaan tradisi mangngaro tidak serta merta, sebab harus memenuhi aturan adat yang sudah dilakukan secara turun temurun seperti telah memenuhi atau melakukan tingkatan-tingkatan upacara kematian (rambu solo) menyangkut jumlah kerbau yang disembelih pada saat meninggal, rangkaian ritual dan proses pelaksanaan , warna kain dan busana tradisional yang digunakan, meperhatikan posisi jasad dalam lattang, dan hewan yang disembelih pada saat mangngaro. 

"Berhubung sudah bulan agustus, Ayo ke Nosu menyaksikan langsung keunikan tradisi mangngaro," ajak Kurniawan.

Editor      : Redaksi