REPLIKNEWS, TANA TORAJA - Tana bergerak atau Longsor yang menewaskan puluhan jiwa masyarakat di Kabupaten Tana Toraja pada Sabtu Malam (13/04/2024) mengundang perhatian publik. Salah satunya dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).
Menyorot kejadian tersebut, Ikatan Ahli Geologi Indonesia menggelar webinar dengan tema Gerakan Tanah/ Longsor Toraja, Mekanisme, Potensi dan Upaya Mitigasi Kedepan, pada Senin (22/04/2024) secara Zoom Meating yang disiarkan secara langsung melalui akun You Tube IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia).
Ketua IAGI, STJ Budi Santoso, S.T., M.Econ.Geol. dalam pembukaannya mengungkap webinar tersebut digelar dengan harapan adanya upaya mitigasi bencana kedepannya, baik oleh masyarakat, pemerintah desa, maupun pemerintah.
"Harapannya, kita bisa belajar dari apa yang sudah terjadi dan sesuatu yang belum terjadi kita bisa memitigasinya, syukur kita bisa mencegahnya jauh lebih penting. Bagaimana kita dengan sigap, khususnya masyarakat, juga pemerintah, apakah itu desa, daerah tingkat satu (I) dan tingkat dua (II) untuk memastikan apakah itu berupa peta, himbauan, atau dokumentasi yang menyampaikan bahwa ada area yang tidak lagi layak ditempati atau berpotensi bermasalah. Masyarakat lebih awal diberitahu bagaimana langkah-langkah melakukan pencegahan atau mitigasinya," tutur STJ Budi Santoso.
Kajian Resiko Bencana Longsor Tana Toraja,Provinsi Sulawesi Selatan menjadi salah satu judul materi yang dipaparkan oleh Ilham Amiluddin,S.T,M.Gis, Ph.D. selalu Kepala Pusat Studi Kebencanaan LPPM Universitas Hasanuddin.
Melalui paparan materinya, Ilham Amiluddin menerangkan pentingnya penerapan budaya sadar bencana. Literasi bencana menjadi salah satu poin penting untuk terus dilakukan.
"Kejadian ini bisa memberikan pelajaran kepada kita untuk menerapkan budaya sadar bencana. Dengan bantuan media sosial kita bisa memberikan pembelajaran kepada masyarakat," tutur Ilham Amiluddin.
Selain itu, keterlibatan para akademisi melakukan kajian untuk mengenali resiko di daerah harus diupayakan.
"Ini yang akan terus kami lakukan, bekerja sama dengan Ikatan Geologi Indonesia, ketika terjadi bencana kita bisa berkoordinasi. Ada istilah kajian cepat lokasi tersebut, apakah banjir, gempa, tsunami, kita upayakan bisa mengenali resiko yang ada di daerah tersebut lebih awal dengan melalukan pemetaan, kajian yang bisa kita lakukan. Peran kita sebagai akademisi, pesan dari BNPB bahwa kenalilah potensi ancaman yang ada di daerah tersebut, sehingga kita bisa tahu bagaimana tingkat resiko yang ada di daerah tersebut," tuturnya.
Tak kalah penting, mindset tentang bencana juga perlu diubah. Bencana tidak bisa dilihat dengan mindset patalistik bahwa bencana diterima saja, melainkan bahwa bencana dapat dimitigasi.
Pemerintah melalui BNPB itu membuat rumus yang parameternya ditentukan dari bahaya, rentanan, dan kapasitas masyarakat. Hal tersebutlah yang kemudian menjadi dasar BNPB untuk menerapkan perengkingan bencana pada suatu wilayah.
"Nah inilah yang dibuat dalam namanya indeks resiko bencana. Indeks resiko bencana ini direngking setiap tahun berdasarkan efektivitas kebencanaan yang ada di daerah tersebut,"jelasnya.
Sayangnya, meski menjadi salah satu daerah dengan efektivitas bencana yang tinggi di Sulawesi Selatan, Tana Toraja tidak memiliki dokumen kajian resiko bencana (KRB).
"Parahnya lagi, Tana Toraja ini tidak memiliki dokumen kajian resiko bencana. Nah ini yang kita baru mau menyadarkan pemerintah daerah menganggarkan untuk melakukan penyusunan dokumen KRB ini. Seperti yang teman-teman lihat, di tahun 2020 Tana Toraja masih di rangking 17, tetapi tahun 2022 naik di rangking 12. Kenapa? Karena tidak banyak dilakukan upaya-upaya pengurangan resiko bencana," paparnya.
Ditegaskannya pula bahwa kajian resiko bencana merupakan manah UU yang harus dilaksanakan. Oleh sebab itu, pihaknya akan bekerja sama dengan badan geologi untuk membantu pemerintah Kabupaten Tana Toraja membuat kajian resiko bencana.
Pada kesempatan yang sama, Desthina Baso Sakke, S.T. selaku Analis Bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Tana Toraja dalam paparan materinya yang berjudul Potensi Bencana di Kabupaten Tana Toraja merinci sejarah tanah longsor di Tana Toraja dalam jangkah waktu tujuh (7) tahun terakhir yang cukup tinggi, yakni ;
1. Tahun 2018 sebanyak 19 kejadian
2. Tahun 2019 sebanyak 32 kejadian
3. Tahun 2020 sebanyak 45 kejadian
4. Tahun 2021 sebanyak 36 kejadian
5. Tahun 2022 sebanyak 25 kejadian
6. Tahun 2023 sebanyak 17 kejadian
7. Tahun 2024 sejak Januari-April sebanyak 41 kejadian
Diuraikannya juga bahwa pemerintah kabupaten Tana Toraja, dalam hal ini BPBD melakukan upaya penanggulangan bencana berpedoman pada UU no.24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana yang dilaksanakan dalam tiga (3) fase, yakni; Pra Bencana, Tanggap Darurat, dan Pasca Bencana. Kajian resiko bencana merupakan salah satu yang diupayakan pada fase pra bencana dengan situasi tidak terdapat bencana.
"Pada fase pra bencana,BPBD melakukan perencanaan penanggulangan bencana; pelatihan tim reaksi cepat; penyusunan kajian resiko bencana, seperti yang disampaikan Pak Ilham tadi bahwa sampai saat ini Kabupaten Tana Toraja belum memiliki kajian resiko bencana; dan selanjutnya kami melakukan pengurangan resiko dengan memberikan edukasi," urai Desthina Baso Sakke.
Penulis : Nhata
Editor : Redaksi