REPLIKNEWS, PANGKEP – Di antara laut yang kadang jinak, kadang menggulung tanpa kompromi, suara dari pulau-pulau terluar Pangkajene Kepulauan kembali mengetuk meja pusat kekuasaan di Jakarta. Ketua Komisi II DPRD Pangkep, Muh Lutfi Hanafi, berbicara lantang lewat sambungan telepon, suaranya terdengar seperti datang dari bibir pantai yang menunggu perahu singgah: warga kepulauan membutuhkan kapal perintis, dan kebutuhan itu bukan lagi sebatas aspirasi—melainkan desakan hidup sehari-hari.
Selama bertahun-tahun, sejumlah pulau di Pangkep hidup dalam ritme cuaca. Ketika angin bersahabat, perahu kecil bisa menyeberang. Tapi ketika gelombang meninggi, anak-anak absen sekolah, nelayan terkurung di rumah, dan hasil laut membusuk sebelum tiba di daratan. Mobilitas warga yang seharusnya sederhana berubah menjadi perjudian harian. Jarak antarpulau yang tidak terlalu jauh justru menjadi penghalang paling besar ketika tidak ada transportasi yang layak.
Lutfi menjelaskan bahwa minimnya armada membuat ongkos logistik melambung, dan ekonomi masyarakat pesisir merasakan dampaknya langsung. Hasil laut yang harusnya laris dan bernilai tinggi, justru dijual lebih murah karena biaya distribusi ikut membebani. Bukan hanya nelayan, pelaku usaha kecil pun merasakan sulitnya bergerak ketika laut adalah satu-satunya jalan.
Komisi II DPRD Pangkep saat ini berada di Jakarta—mengurus langsung permohonan kapal perintis ke Kementerian Perhubungan. Lutfi berharap kementerian tidak hanya membaca data, tapi juga mendengar denyut hidup warga pulau yang selama ini terpinggirkan jarak, cuaca, dan kebijakan.
“Kami mengurus langsung kebutuhan kapal perintis. Semoga perjuangan ini mendapat respons positif dan segera terwujud demi masyarakat pulau,” ucapnya, penuh keyakinan meski tahu proses di pusat tidak selalu cepat.
Kapal perintis yang mereka perjuangkan bukan hanya soal transportasi. Ia adalah jembatan pemerataan pembangunan. Dengan armada yang memadai, akses barang menjadi lebih teratur, pelayanan kesehatan dan pendidikan bisa lebih mudah menjangkau pulau-pulau kecil, dan warga tidak lagi harus menunggu cuaca untuk kegiatan penting yang seharusnya berlangsung setiap hari.
Lutfi juga menegaskan bahwa pemerintah pusat memegang peran besar dalam mewujudkan kebutuhan ini. Daerah kepulauan seperti Pangkep tidak mampu menanggung beban anggaran sendiri. Tanpa dukungan pusat, kesenjangan antarwilayah akan tetap menganga.
Meski tantangan masih panjang, Lutfi optimistis. Ada desakan yang datang dari dasar laut, dari jaring-jaring nelayan, dari ruang kelas yang menunggu buku baru, dari dermaga-dermaga kecil yang sudah lama menanti kapal singgah. Semua itu menjadikan perjuangan ini lebih dari sekadar administrasi: ini soal memastikan bahwa masyarakat kepulauan tidak dibiarkan hidup di pinggir republik.
“Kami bekerja agar masyarakat kepulauan tidak lagi terpinggirkan. Semoga apa yang kami perjuangkan segera terealisasi,” tutupnya.
Di balik pernyataan itu, ada harapan yang tidak kalah besar dari gelombang laut: bahwa pulau-pulau kecil Pangkep akan segera terhubung, tidak hanya oleh air, tetapi oleh perhatian negara.
Penulis : Wihandi
Editor : Redaksi






